Minggu, 15 Mei 2011

BERPIKIR KRITIS (Critical Thinking)

Pengantar
Berpikir kritis merupakan kemampuan kognitif untuk mengatakan sesuatu dengan penuh keyakinan karena bersandar pada alasan yang logis dan bukti empiris yang kuat. Berpikir kritis adalah proses berpikir sistematis dalam mencari kebenaran dan membangun keyakinan terhadap sesuatu yang dikaji dan ditelaah secara faktual dan realistis. Dalam lingkungan sekolah, Johson (2007: 185) mengatakan secara spesifik bahwa berpikir kritis adalah suatu proses yang terorganisir yang memungkinkan peserta didik  mengevalusi fakta, asumsi, logika, dan bahasa yang mendasari pernyataan orang lain.
Untuk memahami lebih dalam tentang makna berpikir kritis, berikut ini diturunkan definisi klasik yang menggambarkan hakekat dan karakteristik dari orang yang berpikir kritis. Penulis merujuk pada pandangan John Dewey, Edward Glaser, Robert Ennis, Richard Paul dalam dalam Fisher (2001: 2—5). Pertama, John Dewey melihat berpikir kritis itu pada dasarnya adalah berpikir reflektif, di mana dikatakan bahwa:   

Critical thinking or reflective thinking is an active, persistent, and careful consideration of a belief or suppose form of knowledge in the light of the grounds which support it and the further conclusions to which it tends.            

Di sini, John Dewey menekankan bahwa berpikir kritis merupakan proses yang aktif, maksudnya untuk mengontraskan proses berpikir seseorang pada umumnya dalam menerima atau memperoleh informasi dari pihak lain yang cenderung menerima begitu saja secara pasif.  Memang, tak dapat dibantah bahwa berpikir kritis pasti melewati proses yang aktif, di mana ketika seseorang memikirkan sesuatu yang ingin dilakukan atau yang hendak dipaparkan, begitu pun ketika ingin mengajukan pertanyaan dan mencari informasi yang relevan dengan objek yang diinginkan.
Berpikir kritis juga dipandang sebagai suatu keyakinan yang kuat dan hati-hati dengan maksud untuk mengonstraskan sistem berpikir seseorang yang tidak reflektif atau tanpa melibatkan pemikiran yang komprehensif. Misalnya ketika seseorang begitu cepat sampai kepada suatu kesimpulan atau keputusan yang dangkal dalam berbuat atau bertindak tanpa menelusuri dan mengkaji esensi makna yang terkandung di dalamnya. Memang benar bahwa ketika menyimpulkan sesuatu harus dilakukan dengan cepat dan tepat, tetapi sering tidak diambil secara komprehensif.
Namun demikian, yang paling penting dalam pandangan John Dewey adalah apa yang dia sebut sebagai “grounds which support” (dasar pemikiran yang mendukung) sesuatu sehingga dapat disimpulkan. Artinya, dasar pijakan berpikirnya harus didasarkan pada alasan rasional dan implikasinya harus dikaji dari sudut pandang kecenderungannya.
Kedua, Edward Glaser mengembangkan pandangannya dengan mengonstruksi pandangan John Dewey, di mana berpikir kritis dipandang sebagai:

(1)  An attitude of being disposed to consider in a thoughtful way the problems and subjects that come within the range of one’s experience; (2) knowledge of the methods of logical enquiry and reasoning; and (3) some skill in applying those methods. Critical thinking calls for a persistent effort to examine any belief or supposed form of knowledge in the light of the evidence that supports it and the further conclusions to which it tends.   
 
Walaupun pandangan ini lebih banyak mendasarkan diri pada definisi yang dikemukan oleh John Dewey, namun beberapa poin yang sangat esensial dapat dijelaskan. Suatu sikap yang ingin mempertimbangkan berbagai masalah berdasarkan pengalaman seseorang dengan cara yang bijaksana menunjukkan bahwa berpikir kritis itu bukan hanya menghadirkan suatu sikap keinginanan untuk mempertimbangkan sesuatu dalam menyelesaikan masalah, melainkan juga harus dilakukan dengan cara yang bijaksana dan tenggang rasa.
Begitu pula dengan pengetahuan tentang metode penyelidikan dan alasan logis menunjukkan bahwa untuk berpikir kritis diharuskan adanya pemahaman yang dalam tentang cara-cara ilmiah dan rasional untuk memproduksi dan menghasilkan sesuatu. Tidak hanya itu saja, diperlukan keterampilan untuk menerapkan metode-metode tersebut.
Ketiga, definisi yang dianggap paling banyak digunakan secara luas, yakni pandangan Robert Ennis tentang berpikir kritis, di mana dikatakan bahwa “critical thinking is reasonable, reflective thinking that is focused on deciding what to believe and do.” Frase  reasonable dan reflective nampaknya tidak menunjukkan adanya perbedaan yang mencolok dengan dua definisi sebelumnya, tetapi pernyataan deciding what to believe and do menunjukkan bahwa bagi Ennis membuat keputusan merupakan bahagian yang tak terpisahkan dengan cara berpikir kritis.
Keempat, berpikir kritis yang ditinjau dari perspektif filsafat oleh Richard Paul, yang memandang bahwa berpikir kritis itu adalah berpikir tentang pikiran itu sendiri. Secara lengkap dikatakan bahwa:

Critical thinking is that mode of thinking – about any subject, content, or problem – in which the thinker improves the quality of his or her thinking by skillfully taking charge of the structures inherent in thinking and imposing intellectual standards upon them. 

Salah satu hal yang sangat menarik untuk digarisbawahi dalam pernyataan ini adalah thinking about the quality of thinking (berpikir tentang kualitas berpikir). Dengan kata lain dapat dinyatakan berpikir tentang pikirannya seseorang atau sering disebut dengan istilah metakognisi (metacognition). Bagi Paul, berpikir kritis itu adalah bermetakognisi.
  
Berdasarkan definisi tersebut di atas, maka berpikir kritis itu adalah (1) proses berpikir aktif untuk mengkaji hakekat dari suatu objek, (2) memahami secara komprehensif tentang berbagai pendekatan yang digunakan sehingga muncul suatu keyakinan yang kuat (pendekatan langsung, observasi langsung, wawancara mendalam, dan lain-lain), (3) membuat alasan rasional tentang objek yang dikaji, (4) membuat asumsi-asumsi yang dikonstruksi berdasarkan pertimbangan dari berbagai alasan rasional, (5) mengungkap kandungan makna dengan merumuskan ke dalam bahasa yang sesuai dan bijaksana, (6) mengungkap bukti-bukti empiris dari setiap makna kata-kata yang telah dirumuskan, (7) membuat keputusan berdasarkan kajian mendalam dari bukti-bukti empiris yang ada, dan (8) mengevaluasi implikasi dari hasil keputusan yang dibuat (berpikir tentang kualitas berpikir, metacognition).
Sering orang membayangkan bahwa aktivitas pembelajaran berpikir kritis dianggap sangat sulit diterapkan pada kelas-kelas rendah atau bahkan di lingkungan sekolah dasar. Anggapan demikian tidak lah demikian jika materi dan tahapan-tahapan berpikir kritis itu dapat disederhanakan atau disesuaikan dengan kemampuan peserta didik.

Tujuan
Melalui aktivitas pembelajaran berpikir kritis, peserta didik dapat:
a.      Memahami dan menguasai tahapan-tahapan dalam berpikir ilmiah.
b.     Mengkaji suatu objek secara komprehensif dengan melibatkan proses berpikir aktif dan reflektif.
c.      Mempelajari sesuatu secara sistematis dan terorganisir dalam menemukan inovasi dan solusi orisinal.
d.     Membangun argumen dan opini berdasarkan bukti-bukti empiris dan alasan yang rasional
e.      Membuat keputusan dengan mempertimbangkan berbagai komponen secara adil dan bijaksana.

Bahan/alat
-   Alat tulis-menulis                            - pencil
-   Fulpen                                              - buku catatan
-  kapur/spidol                                   - papan tulis atau computer  
- LCD projector atau software                - buku teks atau bahan ajar

Prosedur

a.      Guru memberikan peserta didik tugas atau bahan ajar yang akan dikaji. 
b.     Guru menyampaikan aturan main dalam mengkaji bahan ajar tersebut (boleh dilakukan secara kelompok atau mandiri).
c.      Peserta didik (secara kelompok atau mandiri) mengidentifikasi hakekat dari objek yang dikaji
d.     Peserta didik menggunakan sudut pandang atau menentukan pendekatan yang digunakan dalam menganalisis bahan ajar tersebut.
e.      Peserta didik mencari dan membuat alasan yang mendasari temuannya
f.       Peserta didik membuat berbagai asumsi yang mungkin terjadi (boleh menggunakan pernyataan jika………., maka…………..).
g.     Peserta didik merumuskan pandangannya dengan bahasa yang sesuai.
h.     Peserta didik menyediakan bukti-bukti empiris berdasarkan data.
i.       Peserta didik membuat keputusan berdasarkan bukti empiris.  
j.       Guru dan peserta didik bersama-sama melakukan evaluasi terhadap implikasi yang ditimbulkan dari hasil keputusan tersebut.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar